ISTILAH BID'AH HASANAH
Istilah ini sering sekali kita dengar dari para pengusung tahlilan, yasinan, maulidan, dan perkara-perkara agama lainnya yang sebenarnya istilah ini adalah istilah yang bodoh lagi membodohi ummat.
Jika ditanyakan mengapa bisa demikian?
Kita bisa menjawabnya dengan mudah bahwasanya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. An-Nasa-i)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan serta menerangkan bahwa setiap bid'ah adalah kesesatan karena itu tidak ada istilah bid'ah hasanah, sebab jika ada bid'ah hasanah maka apakah ada kesesatan yang baik? Sebab :
Bid'ah Rasulullah katakan sesat.
Sedangkan hasanah adalah baik.
Maka jika ada istilah bid'ah hasanah maka apakah ada kesesatan yang baik???
Jika seandainya pun ada bid'ah hasanah, maka hasanah menurut siapa?
Menurut saya?
Menurut anda?
Menurut habib?
Menurut ustadz?
Menurut kyai?
Atau menurut semua orang?
Lantas jika terjadi perbedaan cara pandang dalam memaknai istilah "hasanah" maka kita mengikuti siapa?
Contoh :
Seseorang (baca : orang awam) shalat dengan 2 (dua bahasa) Arab dan Indonesia, seperti yang pernah terjadi di Indonesia. Maka jika orang awam yang memandang hal ini maka ini baik menurutnya, agar shalatnya tersebut dapat dipahami dengan baik dan yang lainnya maka apakah ini bisa dikategorikan sebagai bid'ah hasanah?
Lalu jika seseorang memperingati hari lahirnya (baca : Natal = Maulud) para Nabi selain Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam diperbolehkan?
Contoh saja ummat Islam merayakan Natal Nabi 'Isa 'alaihissalam, dan ia beranggapan bahwa Nabi 'Isa 'alaihissalam merupakan Nabi utusan Allah 'Azza wa Jalla dan wajib mengimani Nabi 'Isa 'alaihissalam sebagai Nabi maka apakah boleh baginya menganggap baik perbuatan tersebut masuk dikategorikan sebagai bid'ah hasanah?
Lalu contoh ketiga, jika seseorang beranggapan bahwa shalat Shubuh 5 raka'at baik dan menganggapnya sebagai bid'ah hasanah apakah hal ini dapat dibenarkan?
Orang ini berdalih dengan dalih bahwa tidak ada larangan dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam???
Sebagian contoh di atas adalah contoh kecil dari perbedaan dalam cara pandang hasanah, hasanah menurut anda maka belum tentu hasanah menurut saya, pun sebaliknya hasanah menurut saya belum tentu hasanah menurut anda.
Karena itu saya bertanya kepada pelaku bid'ah hasanah, istilah ini yaitu istilah bid'ah hasanah, hasanah menurut siapa?
Dan seandainya jika terjadi perbedaan cara memandang maka harus dikembalikan kepada siapa?
Jika kalian (baca : pelaku bid'ah hasanah) menjawab,
"Hasanah menurut syari'at yang dibawa oleh Rasulullah."
Maka saya akan menjawabnya,
"Hasanah yang dibawa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti sunnah-sunnah beliau dan meninggalkan bid'ah sebab beliau telah bersabda,
'Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. An-Nasa-i)
Kemudian, ketika pelaku bid'ah mulai kebingungan serta mencari-cari dalil tentang bid'ah hasanah, akhirnya mereka menukil-nukil perkataan ulama yang kira-kira sesuai dengan keinginan mereka (baca : pelaku bid'ah hasanah) seperti perkataan Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala.
Beliau rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Perkara yang baru itu ada dua macam :
Yaitu perkara baru yang menyelisihi al-Qur'an, Sunnah, Atsar, dan Ijma', maka ini adalah bid'ah yang sesat. Adapun perkara baru yang tidak menyelisihi pakai satu dari hal di atas maka tidak tercela.
Kemudian beliau rahimahullaahu ta'ala menukil perkataan Shahabat yang mulia 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu yang berkata,
'Sebaik-baik bid'ah adalah ini.'"
(Hilyatul Auliya' IX/113)
Padahal jika kita teliti baik-baik dengan seksama maka akan kita dapati yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala adalah bid'ah secara bahasa yang maknanya ialah mengikuti al-Qur'an, As-Sunnah, Atsar dan Ijma' Salafush Shalih.
Hal itu dapat diketahui dari perkataan Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala sendiri yang berdalil tentang perkataan Shahabat yang mulia 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu ketika mengumpulkan jama'ah shalat Tarawih dan berkata,
"Sebaik-baik bid'ah adalah ini."
Padahal telah mahsyur bahwasanya shalat Tarawih itu sendiri adalah Sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan bukan perkara bid'ah yang dibuat-buat oleh 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu.
Sedangkan kita telah ketahui bahwa perbuatan bid'ah adalah perbuatan yang menyelisihi al-Qur'an, As-Sunnah, Atsar dan Ijma' Salafush Shalih.
Maka bagaimana ada istilah bid'ah hasanah?
Padahal ma'ruf dikenal Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala digelari dan dijuluki sebagai Imam Ahlus Sunnah, seorang Imam pembela Sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan bukan pembela bid'ah.
Jika seandainya ditanyakan kepada mereka (baca : pelaku bid'ah) bid'ah apa yang pernah dilakukan oleh Imam Asy-Syafi'i?
Pernahkah beliau tahlilan?
Pernahkah beliau yasinan?
Pernahkah beliau mauludan?
Jika kalian menjawab,
"Pernah."
Maka saya katakan,
"Berikan sumber aslinya?"
Padahal jika kita benar-benar mengikuti Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala maka akan kita dapati bahwa perkara tahlilan adalah bid'ah yang buruk dan bahkan perkara yang sangat buruk sekali sebab perkara tahlilan adalah perkara yang menyelisihi Al-Qur'an dimana di dalam al-Qur'an ummat Islam diperintahkan untuk berbuat baik, membantu orang yang sedang kesulitan? Lantas mengapa kita membuat atau menyulitkan mereka untuk menyuguhkan makanan untuk para pen ta'ziyah?
Perkara tahlilan menyalahi As-Sunnah dan Ijma' diantaranya :
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far karena sesungguhnya telah datang perkara yang menyibukkan mereka (yaitu dengan meninggalnya salah satu anggota keluarganya)."
(HR. Abu Dawud)
Berkata Imam Asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala,
"Saya membenci berkumpul-kumpul (dalam kematian) setelah mayit dikuburkan sekalipun tanpa diiringi tangisan karena hal itu akan memperbaharui kesedihan dan memberatkan tanggungan (keluarga mayit)."
(Al-Umm, 318)
Justru beliau rahimahullaahu ta'ala menganjurkan untuk para tetangga dan sanak familinya membuatkan makanan yang sekiranya dapat membantu serta mengenyangkan untuk keluarga ahli mayit.
Imam Asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah (mengikuti) sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam."
(Al-Umm, I/317)
Berkata Imam Ahmad bin Hambal rahimahullaahu ta'ala,
"Disunnahkan untuk membuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit) dan tidaklah mereka (ahli mayit) yang membuatkan makanan untuk para pen ta'ziyah."
(Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal, hal. 139)
Lantas jika ada yang mengatakan,
"Tahlilan adalah bid'ah hasanah."
Maka kita tanyakan,
"Tahlilan bid'ah hasanah menurut siapa? Bahkan Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala sendiri pun mengingkari perbuatan ini? Apakah kalian masih menganggapnya hasanah?"
Justru Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala mengingkari perbuatan bid'ah.
Beliau berkata,
"Barangsiapa yang beristihsan (menganggap baik suatu perbuatan tanpa dalil yang sharih lagi shahih) maka ia telah membuat syari'at baru."
(al-Mankhul, hal. 374)
Setelah mereka (baca : pelaku bid'ah) bingung maka dia mencari-cari dalih dengan berkata:
"Mobil, motor, hape, televisi itu bid'ah maka tidak usah kalian memakainya."
Sebenarnya jika hujjah telah datang kewajiban kita sebagai ummat Islam adalah untuk tunduk dan patuh dengan apa yang dibawakan oleh Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Perkataan di atas terlontar karena kebodohan dia dalam berhujjah dalam beragama sebab bagaimana mungkin bisa dikatakan orang yang berilmu bila tidak mengerti apa yang dia katakan?!
Memang benar, motor, mobil, hape dan pesawat adalah bid'ah akan tetapi itu adalah bid'ah secara bahasa bukan secara istilah syar'iyah dan bid'ah secara bahasa berbeda dengan bid'ah secara istilah syar'iyah.
Sama seperti shalat, shalat secara bahasa adalah do'a, sedangan shalat secara istilah syar'iyah adalah suatu gerakan ibadah sebagai penghambaan kepada Allah 'Azza wa Jalla yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, tentu kedua definisi di atas sangat jauh berbeda.
Apakah orang yang berdo'a lima kali sehari sudah dikatakan shalat yang lima??!?
Tentu semua orang sepakat menjawab,
"Tidak."
Karena itulah sudah menjadi kewajiban kita untuk mengetahui definisi bid'ah yang benar baik dari segi bahasa maupun istilah syar'iyah agar tidak salah dalam memahaminya.
Bid'ah secara bahasa adalah,
"Segala sesuatu yang baru yang belum ada contoh sebelumnya."
Maka dalam hal ini, hape, mobil, motor dan yang lainnya termasuk kategori bid'ah namun ini bid'ah yang tidak terlarang sebab bid'ah secara bahasa berbeda dengan istilah syar'iyah seperti yang telah saya terangkan di atas.
Hape, mobil, motor atau yang lainnya itu juga sarana dunia bukan akhirat, artinya Allah Jalla Jalaaluh memberikan manusia akal untuk berfikir dan menciptakan sesuatu maka akal manusia itu selalu berkembang dari zaman ke zaman.
Allah 'Azza wa Jalla berfirman :
"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu."
(QS. Al-Baqarah [2] : 29)
Karena itu hape, motor dan mobil merupakan sarana dunia yang Allah berikan untuk manusia berdasarkan ayat al-Qur'an di atas.
Adapun bid'ah secara istilah syar'iyah adalah,
"Sesuatu atau cara baru di dalam agama yang dibuat menyerupai syari'at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah 'Azza wa Jalla."
Maka perkara agama yang baru seperti tahlilan, yasinan dan mauludan masuk dalam kategori ini dan perbuatan tersebut terlarang karena setiap perbuatan bid'ah di dalam agama adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
Dan perbuatan bid'ah di dalam agama secara tidak langsung mengingkari firman Allah 'Azza wa Jalla di bawah ini.
Allah Jalla Jalaaluh berfirman :
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu."
(QS. Al Ma'idaah [5] : 3)
Sehingga seolah-olah para pelaku bid'ah membuat catatan kaki dari firman Allah Tabaroka wa Ta'ala bahwa agama ini yaitu al-Islam bukan agama yang sempurna sebab begitu banyak "perkara-perkara yang baru di dalam agama" yang dianggap baik oleh pelaku kebid'ahan setelah agama ini sempurna.
Pelaku kebid'ahan secara tidak langsung mengingkari hadits-hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di bawah ini.
Dari Abu Dzarr radhiyallaahu 'anhu, ia berkata,
"Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami."
Berkata Abu Dzarr radhiyallaahu 'anhu,
Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,
"Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi)
Dari Abu Dzarr radhiyallahu 'anhu beliau berkata,
"Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat) dan tidaklah seekor burung pun yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan kami memiliki ilmunya."
(HR. An-Nasa-i)
Dari Abu Darda' radhiyallaahu 'anhu, ia berkata,
"Sungguh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat) dan tidaklah seekor burung yang terbang di langit melainkan beliau telah menerangkan kepada kami ilmunya."
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun dari perintah-perintah Allah kepada kalian, melainkan telah aku perintahkan kepada kalian. Begitu pula tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun dari larangan-larangan Allah kepada kalian melainkan telah aku larang kalian darinya."
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, ia berkata,
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Sesungguhnya kedudukanku terhadap kalian seperti kedudukan seorang ayah, aku mengajari kalian semua."
(HR. Abu Dawud)
Dari 'Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu 'anhu, ia berkata,
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Sungguh, aku tinggalkan kalian di atas Islam yang putih bersih (lengkap / sempurna / tidak ada yang tertinggal satu pun), malamnya seperti siangnya (begitu jelas dan gamblang). Tidaklah berpaling dari Islam yang putih bersih ini sepeninggalku, melainkan akan binasa."
(HR. Ibnu Majah)
Perbuatan bid'ah pun secara tidak langsung mengingkari kesempurnaan Islam yang telah diakui sendiri oleh ummat-ummat sebelum kita dari kalangan ahlul kitab dari golongan Yahudi.
Dari 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu berkata,
"Sesungguhnya datang orang Yahudi kepada saya dan berkata,
'Wahai Amirul Mu'min, ada satu ayat di dalam kitabmu (al-Qur'anul Karim), yang jika ayat itu turun kepada kami yakni kepada bangsa Yahudi, niscaya kami menjadikan hari itu perayaan.'
'Umar bin al-Khaththab bertanya,
'Ayat apa itu?'
Lantas orang Yahudi itu berkata,
'Aku sempurnakan untukmu agamamu.'
(QS. Al-Ma'idaah [5] : 3)
Kemudian 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu berkata,
'Sesungguhnya aku tau hari diturunkan ayat ini, dan tempat turunnya. Ayat ini turun sedangkan Rasulullah berada di 'Arafah pada hari Jum'at."
(HR. Al-Bukhari & Muslim)
Bahkan perbuatan bid'ah mengingkari hadits yang mulia ini, yaitu seolah-olah menuduh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengkhianati risalah kenabian untuk memberitahukan segala kebaikan untuk ummatnya. Jika adab-adab buang air kecil saja beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam ajarkan apalagi perkara ibadah yang dianggap baik oleh para pelaku bid'ah seperti maulid, tahlilan, yasinan, isra mi'raj dan perkara penting lainnya, mustahil beliau "lupa" untuk tidak mengajarkan kepada ummatnya.
Dari Salman radhiyallaahu 'anhu, beliau berkata,
"Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami,
'Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air besar!'
Maka, Salman radhiyallaahu 'anhu menjawab,
'Ya !.'
(HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Nabi yang mulia Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam mengajarkan segala sesuatu hingga adab-adab buang air kecil beliau ajarkan namun mungkinkah beliau "lupa" mengajarkan kebaikan pada perayaan-perayaan ibadah bid'ah seperti tahlilan, yasinan, dan maulid?
Padahal Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka."
(HR. Muslim)
Perhatikan hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di atas, menjadi bantahan bagi para pelaku kebid'ahan yang mereka anggap perbuatan bid'ah mereka baik namun pada hakikatnya mengingkari firman Allah Jalla wa 'Ala dan hadits-hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Sampai-sampai guru dari Imam asy-Syafi'i, yaitu Imam Malik rahimahumullaahu ta'ala berkata,
"Barangsiapa yang melakukan suatu bid'ah dalam Islam yang dia menganggap baik bid'ah tersebut, maka sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah ini. Sebab Allah ta'ala berfirman :
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha'i Islam sebagai agamamu."
(QS. Al-Ma'idaah [5] : 3)
"Oleh sebab itu apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu (yaitu pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya), maka ia bukan termasuk agama pula pada hari ini."
(Al-I'tisham, I/64)
Dan bahkan Ummul Mukminin, 'Aisyah radhiyallaahu 'anha berkata,
"Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :
"Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya."
(QS. Al-Ma'idaah [5] : 67)
[HR. Al-Bukhari & Muslim]
Dan yang terakhir, bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa Ta'ala mewafatkan Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam jika Islam belum sempurna???
Berkata Imam asy-Syaukaniy rahimahullahu ta'ala,
"Maka jika Allah telah menyempurnakan agama-Nya sebelum Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat, maka apa artinya pendapat bid'ah yang dibuat-buat oleh kalangan ahli bid'ah tersebut?
Kalau memang hal tersebut merupakan agama menurut keyakinan mereka, maka berarti mereka telah beranggapan bahwa agama ini belum sempurna kecuali dengan tambahan pemikiran mereka, dan itu berarti pembangkangan terhadap al-Qur'an."
(Al-Qaulul Mufiid Fii Adillatil Ijtihaad Wattaqliid, hal. 38)
Kewajiban kita sebagai seorang muslim tunduk dan patuh dengan apa yang telah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sampaikan, apabila kita telah mengetahui bahwa setiap bid'ah itu sesat mengapa kita "ngeyel" dengan mengatakan ada bid'ah hasanah. Seolah-olah kita yang lebih paham dari Nabi yang mulia Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu, ia berkata,
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama dan setiap yang diada-adakan dalam agama adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa-i, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)
Diriwayatkan dari al-'Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata,
"Suatu hari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata,
"Wahai Rasulullah! Nasehat ini seakan-akan ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?"
Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. An-Nasa-i)
Hadits-hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di atas sangat jelas menegaskan bahwa setiap bid'ah itu sesat maka jangan kita "ngeyel" atau sok-sok-an berkata tanpa ilmu ada bid'ah hasanah.
Kewajiban kita hanya tunduk dan patuh dengan apa yang beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam sampaikan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah."
(QS. Al-Hasyr : 7)
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari Kiamat."
(QS. Al-Ahzaab : 21)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Barangsiapa yang mengada-adakan (membuat-buat bid'ah) suatu perkara amalan dalam agama ini yang tidak ada perintah atau contoh) dari kami maka perbuatan tersebut tertolak."
(HR. Bukhari & Muslim)
Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam melanjutkan,
"Setiap ummatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan."
Para Shahabat bertanya,
"Siapakah yang enggan, wahai Rasulullah?"
Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab,
"Barangsiapa yang taat kepadaku maka dia masuk Surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka dialah yang enggan."
(HR. Al-Bukhari)
Jika ditanyakan mengapa bisa demikian?
Kita bisa menjawabnya dengan mudah bahwasanya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. An-Nasa-i)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan serta menerangkan bahwa setiap bid'ah adalah kesesatan karena itu tidak ada istilah bid'ah hasanah, sebab jika ada bid'ah hasanah maka apakah ada kesesatan yang baik? Sebab :
Bid'ah Rasulullah katakan sesat.
Sedangkan hasanah adalah baik.
Maka jika ada istilah bid'ah hasanah maka apakah ada kesesatan yang baik???
Jika seandainya pun ada bid'ah hasanah, maka hasanah menurut siapa?
Menurut saya?
Menurut anda?
Menurut habib?
Menurut ustadz?
Menurut kyai?
Atau menurut semua orang?
Lantas jika terjadi perbedaan cara pandang dalam memaknai istilah "hasanah" maka kita mengikuti siapa?
Contoh :
Seseorang (baca : orang awam) shalat dengan 2 (dua bahasa) Arab dan Indonesia, seperti yang pernah terjadi di Indonesia. Maka jika orang awam yang memandang hal ini maka ini baik menurutnya, agar shalatnya tersebut dapat dipahami dengan baik dan yang lainnya maka apakah ini bisa dikategorikan sebagai bid'ah hasanah?
Lalu jika seseorang memperingati hari lahirnya (baca : Natal = Maulud) para Nabi selain Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam diperbolehkan?
Contoh saja ummat Islam merayakan Natal Nabi 'Isa 'alaihissalam, dan ia beranggapan bahwa Nabi 'Isa 'alaihissalam merupakan Nabi utusan Allah 'Azza wa Jalla dan wajib mengimani Nabi 'Isa 'alaihissalam sebagai Nabi maka apakah boleh baginya menganggap baik perbuatan tersebut masuk dikategorikan sebagai bid'ah hasanah?
Lalu contoh ketiga, jika seseorang beranggapan bahwa shalat Shubuh 5 raka'at baik dan menganggapnya sebagai bid'ah hasanah apakah hal ini dapat dibenarkan?
Orang ini berdalih dengan dalih bahwa tidak ada larangan dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam???
Sebagian contoh di atas adalah contoh kecil dari perbedaan dalam cara pandang hasanah, hasanah menurut anda maka belum tentu hasanah menurut saya, pun sebaliknya hasanah menurut saya belum tentu hasanah menurut anda.
Karena itu saya bertanya kepada pelaku bid'ah hasanah, istilah ini yaitu istilah bid'ah hasanah, hasanah menurut siapa?
Dan seandainya jika terjadi perbedaan cara memandang maka harus dikembalikan kepada siapa?
Jika kalian (baca : pelaku bid'ah hasanah) menjawab,
"Hasanah menurut syari'at yang dibawa oleh Rasulullah."
Maka saya akan menjawabnya,
"Hasanah yang dibawa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti sunnah-sunnah beliau dan meninggalkan bid'ah sebab beliau telah bersabda,
'Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. An-Nasa-i)
Kemudian, ketika pelaku bid'ah mulai kebingungan serta mencari-cari dalil tentang bid'ah hasanah, akhirnya mereka menukil-nukil perkataan ulama yang kira-kira sesuai dengan keinginan mereka (baca : pelaku bid'ah hasanah) seperti perkataan Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala.
Beliau rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Perkara yang baru itu ada dua macam :
Yaitu perkara baru yang menyelisihi al-Qur'an, Sunnah, Atsar, dan Ijma', maka ini adalah bid'ah yang sesat. Adapun perkara baru yang tidak menyelisihi pakai satu dari hal di atas maka tidak tercela.
Kemudian beliau rahimahullaahu ta'ala menukil perkataan Shahabat yang mulia 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu yang berkata,
'Sebaik-baik bid'ah adalah ini.'"
(Hilyatul Auliya' IX/113)
Padahal jika kita teliti baik-baik dengan seksama maka akan kita dapati yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala adalah bid'ah secara bahasa yang maknanya ialah mengikuti al-Qur'an, As-Sunnah, Atsar dan Ijma' Salafush Shalih.
Hal itu dapat diketahui dari perkataan Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala sendiri yang berdalil tentang perkataan Shahabat yang mulia 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu ketika mengumpulkan jama'ah shalat Tarawih dan berkata,
"Sebaik-baik bid'ah adalah ini."
Padahal telah mahsyur bahwasanya shalat Tarawih itu sendiri adalah Sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan bukan perkara bid'ah yang dibuat-buat oleh 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu.
Sedangkan kita telah ketahui bahwa perbuatan bid'ah adalah perbuatan yang menyelisihi al-Qur'an, As-Sunnah, Atsar dan Ijma' Salafush Shalih.
Maka bagaimana ada istilah bid'ah hasanah?
Padahal ma'ruf dikenal Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala digelari dan dijuluki sebagai Imam Ahlus Sunnah, seorang Imam pembela Sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan bukan pembela bid'ah.
Jika seandainya ditanyakan kepada mereka (baca : pelaku bid'ah) bid'ah apa yang pernah dilakukan oleh Imam Asy-Syafi'i?
Pernahkah beliau tahlilan?
Pernahkah beliau yasinan?
Pernahkah beliau mauludan?
Jika kalian menjawab,
"Pernah."
Maka saya katakan,
"Berikan sumber aslinya?"
Padahal jika kita benar-benar mengikuti Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala maka akan kita dapati bahwa perkara tahlilan adalah bid'ah yang buruk dan bahkan perkara yang sangat buruk sekali sebab perkara tahlilan adalah perkara yang menyelisihi Al-Qur'an dimana di dalam al-Qur'an ummat Islam diperintahkan untuk berbuat baik, membantu orang yang sedang kesulitan? Lantas mengapa kita membuat atau menyulitkan mereka untuk menyuguhkan makanan untuk para pen ta'ziyah?
Perkara tahlilan menyalahi As-Sunnah dan Ijma' diantaranya :
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far karena sesungguhnya telah datang perkara yang menyibukkan mereka (yaitu dengan meninggalnya salah satu anggota keluarganya)."
(HR. Abu Dawud)
Berkata Imam Asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala,
"Saya membenci berkumpul-kumpul (dalam kematian) setelah mayit dikuburkan sekalipun tanpa diiringi tangisan karena hal itu akan memperbaharui kesedihan dan memberatkan tanggungan (keluarga mayit)."
(Al-Umm, 318)
Justru beliau rahimahullaahu ta'ala menganjurkan untuk para tetangga dan sanak familinya membuatkan makanan yang sekiranya dapat membantu serta mengenyangkan untuk keluarga ahli mayit.
Imam Asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah (mengikuti) sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam."
(Al-Umm, I/317)
Berkata Imam Ahmad bin Hambal rahimahullaahu ta'ala,
"Disunnahkan untuk membuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit) dan tidaklah mereka (ahli mayit) yang membuatkan makanan untuk para pen ta'ziyah."
(Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal, hal. 139)
Lantas jika ada yang mengatakan,
"Tahlilan adalah bid'ah hasanah."
Maka kita tanyakan,
"Tahlilan bid'ah hasanah menurut siapa? Bahkan Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala sendiri pun mengingkari perbuatan ini? Apakah kalian masih menganggapnya hasanah?"
Justru Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala mengingkari perbuatan bid'ah.
Beliau berkata,
"Barangsiapa yang beristihsan (menganggap baik suatu perbuatan tanpa dalil yang sharih lagi shahih) maka ia telah membuat syari'at baru."
(al-Mankhul, hal. 374)
Setelah mereka (baca : pelaku bid'ah) bingung maka dia mencari-cari dalih dengan berkata:
"Mobil, motor, hape, televisi itu bid'ah maka tidak usah kalian memakainya."
Sebenarnya jika hujjah telah datang kewajiban kita sebagai ummat Islam adalah untuk tunduk dan patuh dengan apa yang dibawakan oleh Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Perkataan di atas terlontar karena kebodohan dia dalam berhujjah dalam beragama sebab bagaimana mungkin bisa dikatakan orang yang berilmu bila tidak mengerti apa yang dia katakan?!
Memang benar, motor, mobil, hape dan pesawat adalah bid'ah akan tetapi itu adalah bid'ah secara bahasa bukan secara istilah syar'iyah dan bid'ah secara bahasa berbeda dengan bid'ah secara istilah syar'iyah.
Sama seperti shalat, shalat secara bahasa adalah do'a, sedangan shalat secara istilah syar'iyah adalah suatu gerakan ibadah sebagai penghambaan kepada Allah 'Azza wa Jalla yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, tentu kedua definisi di atas sangat jauh berbeda.
Apakah orang yang berdo'a lima kali sehari sudah dikatakan shalat yang lima??!?
Tentu semua orang sepakat menjawab,
"Tidak."
Karena itulah sudah menjadi kewajiban kita untuk mengetahui definisi bid'ah yang benar baik dari segi bahasa maupun istilah syar'iyah agar tidak salah dalam memahaminya.
Bid'ah secara bahasa adalah,
"Segala sesuatu yang baru yang belum ada contoh sebelumnya."
Maka dalam hal ini, hape, mobil, motor dan yang lainnya termasuk kategori bid'ah namun ini bid'ah yang tidak terlarang sebab bid'ah secara bahasa berbeda dengan istilah syar'iyah seperti yang telah saya terangkan di atas.
Hape, mobil, motor atau yang lainnya itu juga sarana dunia bukan akhirat, artinya Allah Jalla Jalaaluh memberikan manusia akal untuk berfikir dan menciptakan sesuatu maka akal manusia itu selalu berkembang dari zaman ke zaman.
Allah 'Azza wa Jalla berfirman :
"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu."
(QS. Al-Baqarah [2] : 29)
Karena itu hape, motor dan mobil merupakan sarana dunia yang Allah berikan untuk manusia berdasarkan ayat al-Qur'an di atas.
Adapun bid'ah secara istilah syar'iyah adalah,
"Sesuatu atau cara baru di dalam agama yang dibuat menyerupai syari'at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah 'Azza wa Jalla."
Maka perkara agama yang baru seperti tahlilan, yasinan dan mauludan masuk dalam kategori ini dan perbuatan tersebut terlarang karena setiap perbuatan bid'ah di dalam agama adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
Dan perbuatan bid'ah di dalam agama secara tidak langsung mengingkari firman Allah 'Azza wa Jalla di bawah ini.
Allah Jalla Jalaaluh berfirman :
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu."
(QS. Al Ma'idaah [5] : 3)
Sehingga seolah-olah para pelaku bid'ah membuat catatan kaki dari firman Allah Tabaroka wa Ta'ala bahwa agama ini yaitu al-Islam bukan agama yang sempurna sebab begitu banyak "perkara-perkara yang baru di dalam agama" yang dianggap baik oleh pelaku kebid'ahan setelah agama ini sempurna.
Pelaku kebid'ahan secara tidak langsung mengingkari hadits-hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di bawah ini.
Dari Abu Dzarr radhiyallaahu 'anhu, ia berkata,
"Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami."
Berkata Abu Dzarr radhiyallaahu 'anhu,
Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,
"Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi)
Dari Abu Dzarr radhiyallahu 'anhu beliau berkata,
"Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat) dan tidaklah seekor burung pun yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan kami memiliki ilmunya."
(HR. An-Nasa-i)
Dari Abu Darda' radhiyallaahu 'anhu, ia berkata,
"Sungguh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat) dan tidaklah seekor burung yang terbang di langit melainkan beliau telah menerangkan kepada kami ilmunya."
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun dari perintah-perintah Allah kepada kalian, melainkan telah aku perintahkan kepada kalian. Begitu pula tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun dari larangan-larangan Allah kepada kalian melainkan telah aku larang kalian darinya."
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, ia berkata,
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Sesungguhnya kedudukanku terhadap kalian seperti kedudukan seorang ayah, aku mengajari kalian semua."
(HR. Abu Dawud)
Dari 'Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu 'anhu, ia berkata,
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Sungguh, aku tinggalkan kalian di atas Islam yang putih bersih (lengkap / sempurna / tidak ada yang tertinggal satu pun), malamnya seperti siangnya (begitu jelas dan gamblang). Tidaklah berpaling dari Islam yang putih bersih ini sepeninggalku, melainkan akan binasa."
(HR. Ibnu Majah)
Perbuatan bid'ah pun secara tidak langsung mengingkari kesempurnaan Islam yang telah diakui sendiri oleh ummat-ummat sebelum kita dari kalangan ahlul kitab dari golongan Yahudi.
Dari 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu berkata,
"Sesungguhnya datang orang Yahudi kepada saya dan berkata,
'Wahai Amirul Mu'min, ada satu ayat di dalam kitabmu (al-Qur'anul Karim), yang jika ayat itu turun kepada kami yakni kepada bangsa Yahudi, niscaya kami menjadikan hari itu perayaan.'
'Umar bin al-Khaththab bertanya,
'Ayat apa itu?'
Lantas orang Yahudi itu berkata,
'Aku sempurnakan untukmu agamamu.'
(QS. Al-Ma'idaah [5] : 3)
Kemudian 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu berkata,
'Sesungguhnya aku tau hari diturunkan ayat ini, dan tempat turunnya. Ayat ini turun sedangkan Rasulullah berada di 'Arafah pada hari Jum'at."
(HR. Al-Bukhari & Muslim)
Bahkan perbuatan bid'ah mengingkari hadits yang mulia ini, yaitu seolah-olah menuduh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengkhianati risalah kenabian untuk memberitahukan segala kebaikan untuk ummatnya. Jika adab-adab buang air kecil saja beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam ajarkan apalagi perkara ibadah yang dianggap baik oleh para pelaku bid'ah seperti maulid, tahlilan, yasinan, isra mi'raj dan perkara penting lainnya, mustahil beliau "lupa" untuk tidak mengajarkan kepada ummatnya.
Dari Salman radhiyallaahu 'anhu, beliau berkata,
"Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami,
'Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air besar!'
Maka, Salman radhiyallaahu 'anhu menjawab,
'Ya !.'
(HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Nabi yang mulia Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam mengajarkan segala sesuatu hingga adab-adab buang air kecil beliau ajarkan namun mungkinkah beliau "lupa" mengajarkan kebaikan pada perayaan-perayaan ibadah bid'ah seperti tahlilan, yasinan, dan maulid?
Padahal Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka."
(HR. Muslim)
Perhatikan hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di atas, menjadi bantahan bagi para pelaku kebid'ahan yang mereka anggap perbuatan bid'ah mereka baik namun pada hakikatnya mengingkari firman Allah Jalla wa 'Ala dan hadits-hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Sampai-sampai guru dari Imam asy-Syafi'i, yaitu Imam Malik rahimahumullaahu ta'ala berkata,
"Barangsiapa yang melakukan suatu bid'ah dalam Islam yang dia menganggap baik bid'ah tersebut, maka sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah ini. Sebab Allah ta'ala berfirman :
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha'i Islam sebagai agamamu."
(QS. Al-Ma'idaah [5] : 3)
"Oleh sebab itu apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu (yaitu pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya), maka ia bukan termasuk agama pula pada hari ini."
(Al-I'tisham, I/64)
Dan bahkan Ummul Mukminin, 'Aisyah radhiyallaahu 'anha berkata,
"Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :
"Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya."
(QS. Al-Ma'idaah [5] : 67)
[HR. Al-Bukhari & Muslim]
Dan yang terakhir, bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa Ta'ala mewafatkan Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam jika Islam belum sempurna???
Berkata Imam asy-Syaukaniy rahimahullahu ta'ala,
"Maka jika Allah telah menyempurnakan agama-Nya sebelum Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat, maka apa artinya pendapat bid'ah yang dibuat-buat oleh kalangan ahli bid'ah tersebut?
Kalau memang hal tersebut merupakan agama menurut keyakinan mereka, maka berarti mereka telah beranggapan bahwa agama ini belum sempurna kecuali dengan tambahan pemikiran mereka, dan itu berarti pembangkangan terhadap al-Qur'an."
(Al-Qaulul Mufiid Fii Adillatil Ijtihaad Wattaqliid, hal. 38)
Kewajiban kita sebagai seorang muslim tunduk dan patuh dengan apa yang telah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sampaikan, apabila kita telah mengetahui bahwa setiap bid'ah itu sesat mengapa kita "ngeyel" dengan mengatakan ada bid'ah hasanah. Seolah-olah kita yang lebih paham dari Nabi yang mulia Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu, ia berkata,
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama dan setiap yang diada-adakan dalam agama adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa-i, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)
Diriwayatkan dari al-'Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata,
"Suatu hari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata,
"Wahai Rasulullah! Nasehat ini seakan-akan ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?"
Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. An-Nasa-i)
Hadits-hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di atas sangat jelas menegaskan bahwa setiap bid'ah itu sesat maka jangan kita "ngeyel" atau sok-sok-an berkata tanpa ilmu ada bid'ah hasanah.
Kewajiban kita hanya tunduk dan patuh dengan apa yang beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam sampaikan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah."
(QS. Al-Hasyr : 7)
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari Kiamat."
(QS. Al-Ahzaab : 21)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Barangsiapa yang mengada-adakan (membuat-buat bid'ah) suatu perkara amalan dalam agama ini yang tidak ada perintah atau contoh) dari kami maka perbuatan tersebut tertolak."
(HR. Bukhari & Muslim)
Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam melanjutkan,
"Setiap ummatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan."
Para Shahabat bertanya,
"Siapakah yang enggan, wahai Rasulullah?"
Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab,
"Barangsiapa yang taat kepadaku maka dia masuk Surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka dialah yang enggan."
(HR. Al-Bukhari)
Ass. Wr. Wb.
BalasHapusDengan mempertajam perbedaan, tak ubahnya seseorang yang suka menembak burung di dalam sangkar. Padahal terhadap Al-Qur’an sendiri memang terjadi perbedaan pendapat. Oleh sebab itu, apabila setiap perbedaan itu selalu dipertentangkan, yang diuntungkan tentu pihak ketiga. Atau mereka sengaja mengipasi ? Bukankah menjadi semboyan mereka, akan merayakan perbedaan ?
Kalau perbedaan itu memang kesukaan Anda, salurkan saja ke pedalaman kepulauan nusantara. Disana masih banyak burung liar beterbangan. Jangan mereka yang telah memeluk Islam dicekoki khilafiyah furu’iyah. Bahkan kalau mungkin, mereka yang telah beragama tetapi di luar umat Muslimin, diyakinkan bahwa Islam adalah agama yang benar.
Ingat, dari 87 % Islam di Indonesia, 37 % nya Islam KTP, 50 % penganut Islam sungguhan. Dari 50 % itu, 20 % tidak shalat, 20 % kadang-kadang shalat dan hanya 10 % pelaksana shalat. Apabila dari yang hanya 10 % yang shalat itu dihojat Anda dengan perbedaan, sehingga menyebabkan ragu-ragu dalam beragama yang mengakibatkan 9 % meninggalkan shalat, berarti ummat Islam Indonesia hanya tinggal 1 %. Terhadap angka itu Anda ikut perperan, yang harus dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT.
Wass. Wr. Wb.
hmjn wan@gmail.com
Yang saya pahami, penulis berusaha untuk meluruskan bukan untuk mempertajam perbedaan, karena yang dijelaskan oleh penulis sangat ilmiah dan sudah dijelaskan oleh para ulama. Dengan demikian, maka saya melihat bahwa penulis sangat mencintai saudaranya dari kaum muslimin dan berusaha agar kaum muslim kembali kepada pemahaman yang lurus yaitu pemahaman para ulama yang berlandasarkan Al-qur'an dan Sunnah
Hapus